Rabu, 20 April 2016

makalah filsafat pendidikan




MAKALAH
ALIRAN ESENSIALISME
Tugas ini untuk memenuhi tugas mata kuliah
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Dosen Pengampu :
Dr. H.M. SUYUDI, M.Ag


Disusun Oleh :

Edi Purnomo

PROGRAM PASCA SARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM
INSTITUT SUNAN GIRI (INSURI) PONOROGO
2016
 


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Reaksi kedua terhadap progresivisme dalam pendidikan juga muncul pada tahun 1930-an dibawah panji-panji esensialisme. Kalangan esensialis setuju dengan penilaian kalngan perenialis bahwa praktik kependidikan progresif terlalu ‘lembek’, karena dalam upayanya menjadikan belajar sebagai sebuah kesungguhan usaha yang tanpa ‘derita’, ia menjauh dari persoalan sulit bergulat dengan dasar-dasar kependidikan semisal penguasaan ‘alat-alat’ belajar (3R) dan fakta-fakta yang mapan. Disisi lain, pendekatan kalangan perenialis tampak terlalu aristokratis bagi beberapa bangsa Amerika, dan bahkan menurut sebagian pengamat, bernada cita-cita antidemokratis.[1]
Kalangan esensialis, tidak seperti kalangan progresif dan perenialis, tidak mempunyai dasar filosofi tunggal. Filsafat-filsafat yang melandasi esensialisme adalah idealisme dan dan realisme. Selain itu, tradisi esensialis juga menghimpun sejumlah besar warga masyarakat yang risau karena melihat sekolah-sekolah ‘mulai rusak’ dan perlu kembali kepada kedisiplinan yang keras serta pengkajian hal-hal dasariah.
Idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk corak esensialisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, akan tetapi tidak lebur menjadi satu dan tidak melepaskan sifatnya yang utama pada dirinya masing-masing. Dengan demikian Renaissance adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikir yang disebut esensialisme, karena itu timbul pada zaman itu, esensialisme adalah konsep meletakkan sebagian ciri alam pikir modern.
Esensialisme pertama-tama muncul dan merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak dan dogmatis abad pertengahan. Maka, disusunlah konsep yang sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang memenuhi tuntutan zaman. Realisme modern, yang menjadi salah satu eksponen essensialisme, titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik, sedangkan idealisme modern sebagai eksponen yang lain, pandangan-pandangannya bersifat spiritual. John Butler mengutarakan ciri dari keduanya yaitu, alam adalah yang pertama-tama memiliki kenyataan pada diri sendiri, dan dijadikan pangkal berfilsafat. Kualitas-kualitas dari pengalaman terletak pada dunia fisik. Dan disana terdapat sesuatu yang menghasilkan penginderaan dan persepsi-persepsi yang tidak semata-mata bersifat mental.
Dengan demikian disini jiwa dapat diumpamakan sebagai cermin yang menerima gambaran-gambaran yang berasal dari dunia fisik, maka anggapan mengenai adanya kenyataan itu tidak dapat hanya sebagai hasil tinjauan yang menyebelah, berarti bukan hanya dari subyek atau obyek semata-mata, melainkan pertemuan keduanya. Idealisme modern mempunyai pandangan bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan-gagasan (ide-ide). Dibalik dunia fenomenal ini ada jiwa yang tidak terbatas yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos.
Manusia sebagai makhluk yang berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan. Menurut pandangan ini bahwa idealisme modern merupakan suatu ide-ide atau gagasan-gagasan manusia sebagai makhluk yang berpikir, dan semua ide yang dihasilkan diuji dengan sumber yang ada pada Tuhan yang menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi dan dilangit, serta segala isinya. Dengan menguji dan menyelidiki semua ide serta gagasannya maka manusia akan mencapai suatu kebenaran yang berdasarkan kepada sumber yang ada pada Allah SWT.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa latar belakang munculnya aliran filsafat esensialisme ?
2.      Apa prinsip-prinsip filosofis aliran filsafat esensialisme?
3.      Bagaimana kelebihan dan kekurangan dari aliran Esensialisme ?
4.      Bagaimana implikasi aliran essensialisme dalam dunia pendidikan ?
C.    Tujuan
1.         Untuk mengetahui latar belakang munculnya aliran filsafat Essensialisme.
2.         Untuk mengetahui prinsip-prinsip filosofis aliran filsafat esensialisme.
3.         Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan aliran Esensialisme.
4.         Untuk mengetahui bagaimana implikasi aliran Esensialisme dalam dunia pendidikan.

[1] George R. Knight, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta : Gama Media, 2007,176.
BAB II
PEMBAHASAN
A.     Latar Belakang Filsafat Esensialisme
Secara etimologi, esensialisme berasal dari bahasa Inggris yakni “Essential” yang berarti inti atau pokok dari sesuatu dan “Isme” berarti aliran, mazhab atau paham.[2]
Esensialisme dikenal sebagai gerakan pendidikan dan juga sebagai aliran filsafat pendidikan. Esensialisme adalah pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaissance (zaman kelahiran kembali) dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan Progresivisme, perbedaannya yang utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh dengan fleksibilitas, dimana terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejeasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas. Menurut esensialisme, yang esensial (sesuatu yang bersifat inti atau hakikat fundamental, atau unsur mutlak yang menentukan keberadaan sesuatu) harus diwariskan kepada generasi muda agar dapar bertahan dari waktu ke waktu, karena itu esensialisme tergolong Tradisionalisme.
Sejak tahun 1930-an kalangan esensialis telah mencanagkan usaha usaha besar memperingatkan masyrakat Amerika tentang ‘pendidikan menyesuaikan hidup’, pendidikan berpusat pada anak dan kemerosotan belajar di USA. Pada tahun 1938 berdiri sebuah wadah organisasi utama dalam bentuk komite  Esensialis untuk pertimbangan pendidikan Amerika dibawah pimpinan Wiliam C. Bagley, Isaac L. Kandel, dan Frederick Breed. Organisasi utama kedua didirikan pada tahun 1950-an, berupa Dewan Pendidikan Dasar. Juru bicara terkemuka himpunan organisasi ini adalah Mortimer Smith dan Arthur Bestor. Pemikiran umum organisasi dapat dilihat melalui judul karya-karya penting Bestor tentang pendidikan, yaitu : Educational Wastelands: The Retread From Learning In Qur Public Scool (1953) dan The Restoration Of Learning: A Program For Redeeming The Unfulfilled Promise Of American Education (1955). Dewan pendidikan dasar tidak hanya memperhatikan kemerosotan pendidikan umum Amerika, akan tetapi juga meragukan nilai kajian-kajian pendidikan formal  oleh para pakar dibidang pendidikan.[3]
Idealisme dan Realisme adalah aliran-aliran filsafat yang membentuk corak Esensialisme, sebagaimana yang dipaparkan oleh Brameld “bahwa esensialisme ialah aliran yang lahir dari perkawinan dua aliran dalam filsafat yakni idealism dan realism”. Sumbangan yang diberikan oleh masing-masing ini bersifat eklektik, artinya dua aliran filsafat ini bertemu sebagai pendukung Esensialisme, tetapi tidak lebur menjadi satu. Berarti, tidak melepaskan sifat-sifat utama masing-masing.

B.     Prinsip-Prinsip Filosofis
1.      Hakikat Manusia
Pandangan ontologis esensialme merupakan suatu konsepsi bahwa dunia atau realita ini dikuasai oleh tata (order) tertentu yang mengatur dunia beserta isinya. Hal ini berarti bahwa bagaimanapun bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita, dan perbuatan manusia harus disesuaikan dengan tata tersebut.[4]
Idealisme modern mempunyai pandangan bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan-gagasan (ide-ide). Di balik dunia fenomenal ini ada jiwa yang tidak terbatas yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos. Manusia sebagai makhluk yang berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan. Dengan menguji menyelidiki ide-ide serta gagasan-gagasannya, manusia akan dapat mencapai kebenaran, yang sumbernya adalah Tuhan sendiri.
Realisme modern yang menjadi salah satu eksponen esensialisme, titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik, sedangkan idealisme modern sebagai eksponen yang lain, pandangan-pandangannya bersifat spiritual. Manusia memiliki intelegensi ia mampu berpikir, dan karenanya dapat menyesuaikan diri terhadap dunia eksternalnya sehingga tetap bertahan diri dalam perjuangannya menghadapi dunia eksternalnya.

2.      Hakikat Realitas
Sifat yang menonjol dari ontologi esensialisme adalah suatu konsepsi bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula, ini berarti bagaimanapun bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan dengan tata tersebut. Dibawah ini adalah uraian mengenai penjabarannya menurut realisme dan idealisme.[5]
a.         Realisme yang mendukung esensialisme disebut realisme objektif karena mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam serta tempat manusia didalamnya. Terutama sekali ada dua golongan ilmu pengetahuan yang mempengaruhi realisme ini. Dari fisika dan ilmu-ilmu lain yang sejenis dapat dipelajari bahwa tiap aspek dari alam fisik ini dapat dipahami berdasarkan adanya tata yang jelas khusus. Ini berarti bahwa suatu kejadian yang sederhanapun dapat ditafsirkan menurut hukum alam, seperti misalnya daya tarik  bumi.
b.        Idealisme objektif mempunyai pandangan kosmos yang lebih optimis dibandingkan dengan realisme objektif. Yang dimaksud dengan ini adalah bahwa pandangan-pandangannya bersifat menyeluruh yang boleh dikatakan meliputi segala sesuatu. Dengan landasan pikiran bahwa totalitas dalam alam semesta ini pada hakikatnya adalah jiwa atau spirit, idealisme menetapkan suatu pendirian bahwa segala sesuatu yang ada ini nyata. Ajaran-ajaran Hegel memperjelas pandangan tersebut diatas.
3.      Hakikat Pengetahuan
a.         Epistemologi Idealisme
Pandangan mengenai pengetahuan bersendikan pada pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang adanya merupakan refleksi dari Tuhan dan yang timbul dari hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Karena itu, dalam diri manusia tercermin suatu harmoni dari alam semesta, khususnya pikiran manusia (human mind). Manusia memperoleh pengetahuan melalui berpikir, intuisi, atau introspeksi.
Kriteria kebenaran idealism yaitu pikiran atau kesadaran adalah primodial. Sejak kehidupan ada, sejak itu pula pikiran atau kesadaran ada. Kesadaran atau pikiran manusia bertugas membangun suatu rancangan dunia dalam yang dianggap paling mendekati realitas luar absolut. Untuk itu, maka logika atau penalaran menjadi penting, sebab memang logika atau penalaran itu merupakan bagian yang sangat esensial dari realitas. Karena itu, sesuatu pengetahuan dikatakan benar bukan karena berguna untuk memecahkan masalah atau untuk kehidupan praktis, sebagaimana dianut progresivist, tetapi suatu pengetahuan dikatakan benar karena ia memang benar, jadi kebenaran bersifat intrinsic, bukan instrumental. Jadi, kebenaran merupakan perwujudan dari realitas tertinggi. Sebab itu, uji kebenaran pengetahuan dlakukan melalui uji koherensi atau konsistensi logis ide-idenya (Madjid Noor,dkk, 1987).[6] 
b.      Epistemologi Realisme
Sumber pengetahuan menurut Realisme adalah dunia luar subyek, pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dria, atau pengamatan. Kita mengetahui sesuatu jika kita mengamati atau mengalami sesuatu melalui kontak lamgsung melalui pancaindera. Pengetahuan sudah ada di dalam realitas, manusia tinggal menemukannya melalui pengamatan atau pengalaman.
Kriteria kebenaran menurut epistemologi realisme adalah suatu pengetahuan diakui benar jika pengetahuan itu sesuai dengan realitas eksternal (yang objektif) dan independen. Sebab itu, uji kebenaran pengetahuan dilakukan melalui uji korespondensi pengetahuan dengan realitas.
4.      Hakikat Nilai (Aksiologi)
a.    Aksiologi Idealisme
Para filsuf Idealisme sepakat bahwa nilai hakikatnya diturunkan dari realitan absolut. Realitan absolut merupakan hal nyata yang benar-benar ada yang bersifat mutlak. Karena itu nilai-nilai adalah abadi atau tidak berubah. Dalam kehidupan sosial, kualitas spiritual seperti kesadaran cinta bangsa dan patriotism merupakan nilai-nilai sosial yang perlu dijunjung tinggi, dan Hegel menyimpulkan bahwa karena Negara adalah manifestasi Tuhan, maka wajib bagi warga negara untuk setia dan menjunjung negara.  
b.    Aksiologi Realisme
Para filsuf realisme percaya bahwa standar nilai tingkah laku manusia diatur oleh hukum alam, dan pada taraf yang lebih rendah diatur melalui konvensi atau kebiasaan, adat istiadat di dalam masyarakat ( Edward J. Power, 1982). Sejalan dengan konsep di atas, bahwa moral berasal dari adat istiadat, kebiasaan, atau dari kebudayaan masyarakat.[7]

C.    Kelebihan dan Kelemahan Aliran Esensialisme
1.    Kelebihan:
a.       Esensialisme membantu untuk mengembalikan subject matter ke dalam proses pendidikan, namun tidak mendukung perenialisme bahwa subject matter yang benar adalah realitas abadi yang disajikan dalam buku-buku besar dari peradaban barat. Great Book tersebut dapat digunakan namun bukan untuk mereka sendiri melainkan untuk dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan yang ada pada dewasa ini.[8]
b.      esensialis berpendapat bahwa perubahan merupaka suatu kenyataan yang tidak dapat diubah dalam kehidupan sosial. Mereka mengakui evolusi manusia dalam sejarah, namun evolusi itu harus terjadi sebagai hasil desakan masyarakat secara terus-menerus. Perubahan terjadi sebagai kemampuan imtelegensi manusia yang mampu mengenal kebutuhan untuk mengadakan amandemen cara-cara bertindak,organisasi,dan fungsisosial.

2.    Kelemahan:
a.       menurut esensialis, sekolah tidak boleh mempengaruhi atau menetapkan kebijakan-kebijakan sosial. Hal ini mengakibatkan adanya orientasi yang terikat tradisi pada pendidikan sekolah yang akan mengindoktrinasi siswa dan mengenyampingkan kemungkinan perubahan.
b.      Para pemikir esensialis pada umumnya tidak memiliki kesatuan garis karena mereka berpedoman pada filsafat yang berbeda. Beberapa pemikir esensialis bahkan memandang seni dan ilmu sastra sebagai embel-embel dan merasa bahwa pelajaran IPA dan teknik serta kejuruan yang sukar adalah hal-hal yang benar-benar penting yang diperlukan siswa agar dapat memberi kontribusi pada masyarakat.
c.       Peran guru sangat dominan sebagai seorang yang menguasai lapangan, dan merupakan model yang sangat baik untuk digugu dan ditiru. Guru merupakan orang yang menguasai pengetahuan dan kelas dibawah pengaruh dan pengawasan guru. Jadi, inisiatif dalam pendidikan ditekankan pada guru, bukan pada siswa.

D.    Implikasi Aliran Essentialisme Terhadap Pendidikan
1.    Pandangan ontologi essensialisme
Sifat khas dari ontologi esensialisme adalah suatu konsep bahwa dunia ini di kuasai oleh tatanan yang cela, yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula. Ini berarti bahwa bagaimanpun bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan dengan tatanan tersebut. Secara filosofis esensialisme dilandasi oleh prisip-prinsip klasik dari filsafat realisme dan idialisme moderen. Ontologinya dapat disebut realisme objektif, yang berpendapat bahwa kenyataan adalah sebuah pokok (subtansi) mater atau idialisme objektif yang berpandangan bahwa kenyataan itu pada pokoknya bersifat rohaniah.
2.    Pandangan epistemologi essensialisme
Epistemologi essensialisme pada tingkat tertinggi merupakan teori persesuaian pengetahuan, yang meyakini bahwa kebenaran tampil mewakili atau sesuia dengan fakta objektif. Realisme memperhatikan pandangan tiga aliran psikologi yaitu assosianesmi, behavorisme, dan koneksionisme. Lazimnya metosde yang digunakan dalam aliran psikologi ini adalah menerapkan metode ilmu alam.
3.    Pandangan mengenai Pendidikan
Essensialisme timbul karena adanya pandangan kaum progesif mengenai pendidikan yang fleksibel. Oleh karena adanya saingan dari progresibvisme, maka pada sekitar tahun 1930 muncul organisasi. Dengan munculnya komite ini pandangan-pandangan essensilaisme menurut tafsiran abad XX mulai diketengahkan dalam dunia pendidikan.
4.    Pandangan mengenai belajar
Essensialisme yang didukung oleh pandangan idealisme berpendapat bahwa bila seseorang itu belajar pada taraf permulaan adalah memahami akunya sendiri, terus bergerak keluar untuk memahami dunia objektif. Akal budi manusia membentuk, mengatur, mengelompokkannya dalam ruang dan waktu. Dengan prinsip itu dapat dikatakan bahwa belajar pada seseorang sebenarnya adalah mengembangkan jiwa pada dirinya sendiri sebagai substansi spritual. Jiwa membina dan menciptakan dirinya sendiri. Jadi belajar adalah menerima dan mengenal dengan sungguh-sungguh nilai-nilai sosial oleh angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi serta diteruskan kepada angkatan berikutnya (Barnadib:1996:56). Belajar adalah cerminan dari jiwa yang aktif.
5.    Pandangan Kurikulum Essentialisme
Essensialisme adalah suatu teori pendidikan yang menegaskan bahwa pendidikan selayaknya bergerak dalam kegiatan pembelajaran tentang keahlian dasar, seni dan sains yang telah nyata-nyata berguna dimasa lalu dan tetap demikian dimasa yang akan datang. Para essensialis percaya bahwa beberapa keahlian esensi atau dasar mempunyai kontribusi yang besar terhadap keberadaan manusia seperti membaca, menulis, aritmatika dan perilaku sosial yang beradab. Keahlian dasar ini merupakan hal yang selayaknya dan memeng dibutuhkan sehingga selalu ada dalam setiap kurikulum sekolah dasar yang baik.
Pada kurikulum sekolah pertama, kurikulum dasar seharusnya terdiri dari sejarah, matematika, sains dan sastra. Kurikulum perguruan tinggi terdiri dari dua komponen yaitu mata kuliah umum dan sains. Dengan menguasai mata kuliah ini yaitu yang berkaitan dengan lingkungan sosial dan alam, seorang siswa mempersiapkan diri untuk berpartisipasi ssecara efektif dalam masyarakat beradab.
Jadi intinya kurikulum hendaknya disusun secara sistematis, dari mulai yang sederhana sampai yang kompleks. Kurikulum direncanakan dan disusun berdasarkan pikiran yang matang agar manusia dapat hidup harmonis dan menyesuaikan diri dengan sifat-sifat kosmis.


[3] George R. Knight, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta : Gama Media, 2007,178.
[4] Prof.Dr. H. Jalaluddin dan Drs. Abdullah Idi, M.Ed. Filsafat Pendidikan. Jakarta: GayaMedia Pratama.1997
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Essentialisme merupakan paduan ide-ide filsafat Idealisme dan Realisme. Dan praktek-praktek filsafat pendidikan Essentialisme dengan demikian menjadi lebih kaya dibandingkan jika ia hanya mengambil posisi yang sepihak dari salah satu aliran yang ia sinthesakan itu. Ide pokok idealisme berprinsip tentang semesta raya dan hakekat sesuatu. Ide pokok realisme berprinsip realita itu ada jika independen terlepas daripada kesadaran jiwa manusia.
Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme, Essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.
Pada prinsipnya, proses belajar menurut Essensialisme adalah melatih daya jiwa potensial yang sudah ada dan proses belajar sebagai proses absorption (menyerap) apa yang berasal dari luar. Yaitu dari warisan-warisan sosial yang disusun di dalam kurikulum tradisional, dan guru berfungsi sebagai perantara.

DAFTAR PUSTAKA
George R. Knight, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta : Gama Media, 2007.
H. Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1997.