MAKALAH
ALIRAN ESENSIALISME
Tugas ini untuk memenuhi tugas mata kuliah
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Dosen Pengampu :
Dr. H.M. SUYUDI, M.Ag
Disusun Oleh :
Edi
Purnomo
PROGRAM PASCA SARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM
INSTITUT SUNAN GIRI (INSURI) PONOROGO
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Reaksi kedua terhadap progresivisme dalam pendidikan
juga muncul pada tahun 1930-an dibawah panji-panji esensialisme. Kalangan esensialis setuju dengan
penilaian kalngan perenialis bahwa praktik kependidikan progresif terlalu
‘lembek’, karena dalam upayanya menjadikan belajar sebagai sebuah kesungguhan
usaha yang tanpa ‘derita’, ia menjauh dari persoalan sulit bergulat dengan
dasar-dasar kependidikan semisal penguasaan ‘alat-alat’ belajar (3R) dan
fakta-fakta yang mapan. Disisi lain, pendekatan kalangan perenialis tampak
terlalu aristokratis bagi beberapa bangsa Amerika, dan bahkan menurut sebagian
pengamat, bernada cita-cita antidemokratis.[1]
Kalangan esensialis, tidak seperti kalangan progresif
dan perenialis, tidak mempunyai dasar filosofi tunggal. Filsafat-filsafat yang
melandasi esensialisme adalah idealisme dan dan realisme. Selain itu, tradisi
esensialis juga menghimpun sejumlah besar warga masyarakat yang risau karena
melihat sekolah-sekolah ‘mulai rusak’ dan perlu kembali kepada kedisiplinan
yang keras serta pengkajian hal-hal dasariah.
Idealisme dan realisme
adalah aliran filsafat yang membentuk corak esensialisme. Dua aliran ini
bertemu sebagai pendukung esensialisme, akan tetapi tidak lebur menjadi satu
dan tidak melepaskan sifatnya yang utama pada dirinya masing-masing. Dengan
demikian Renaissance adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikir yang
disebut esensialisme, karena itu timbul pada zaman itu, esensialisme adalah
konsep meletakkan sebagian ciri alam pikir modern.
Esensialisme
pertama-tama muncul dan merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak dan
dogmatis abad pertengahan. Maka, disusunlah konsep yang sistematis dan
menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang memenuhi tuntutan zaman.
Realisme modern, yang menjadi salah satu eksponen essensialisme, titik berat
tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik, sedangkan idealisme modern
sebagai eksponen yang lain, pandangan-pandangannya bersifat spiritual. John
Butler mengutarakan ciri dari keduanya yaitu, alam adalah yang pertama-tama
memiliki kenyataan pada diri sendiri, dan dijadikan pangkal berfilsafat.
Kualitas-kualitas dari pengalaman terletak pada dunia fisik. Dan disana
terdapat sesuatu yang menghasilkan penginderaan dan persepsi-persepsi yang
tidak semata-mata bersifat mental.
Dengan demikian disini
jiwa dapat diumpamakan sebagai cermin yang menerima gambaran-gambaran yang
berasal dari dunia fisik, maka anggapan mengenai adanya kenyataan itu tidak
dapat hanya sebagai hasil tinjauan yang menyebelah, berarti bukan hanya dari
subyek atau obyek semata-mata, melainkan pertemuan keduanya. Idealisme modern
mempunyai pandangan bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan-gagasan
(ide-ide). Dibalik dunia fenomenal ini ada jiwa yang tidak terbatas yaitu
Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos.
Manusia sebagai makhluk yang berpikir berada dalam lingkungan
kekuasaan Tuhan. Menurut pandangan ini bahwa idealisme modern merupakan suatu
ide-ide atau gagasan-gagasan manusia sebagai makhluk yang berpikir, dan semua
ide yang dihasilkan diuji dengan sumber yang ada pada Tuhan yang menciptakan
segala sesuatu yang ada di bumi dan dilangit, serta segala isinya. Dengan
menguji dan menyelidiki semua ide serta gagasannya maka manusia akan mencapai
suatu kebenaran yang berdasarkan kepada sumber yang ada pada Allah SWT.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa latar belakang munculnya aliran filsafat esensialisme ?
2.
Apa prinsip-prinsip
filosofis aliran filsafat esensialisme?
3.
Bagaimana kelebihan dan
kekurangan dari aliran Esensialisme ?
4. Bagaimana implikasi
aliran essensialisme dalam dunia pendidikan ?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui latar belakang munculnya aliran filsafat Essensialisme.
2.
Untuk mengetahui prinsip-prinsip
filosofis aliran filsafat esensialisme.
3.
Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan aliran Esensialisme.
4.
Untuk
mengetahui bagaimana implikasi aliran Esensialisme dalam dunia pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang Filsafat Esensialisme
Secara etimologi, esensialisme berasal dari bahasa Inggris yakni
“Essential” yang berarti inti atau
pokok dari sesuatu dan “Isme” berarti
aliran, mazhab atau paham.[2]
Esensialisme dikenal sebagai gerakan pendidikan dan juga sebagai
aliran filsafat pendidikan. Esensialisme adalah pendidikan yang didasarkan
kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia.
Esensialisme muncul pada zaman Renaissance
(zaman kelahiran kembali) dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan
Progresivisme, perbedaannya yang utama ialah dalam memberikan dasar berpijak
pada pendidikan yang penuh dengan fleksibilitas, dimana terbuka untuk
perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu.
Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang
memiliki kejeasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai
terpilih yang mempunyai tata yang jelas. Menurut esensialisme, yang esensial
(sesuatu yang bersifat inti atau hakikat fundamental, atau unsur mutlak yang
menentukan keberadaan sesuatu) harus diwariskan kepada generasi muda agar dapar
bertahan dari waktu ke waktu, karena itu esensialisme tergolong Tradisionalisme.
Sejak tahun 1930-an
kalangan esensialis telah mencanagkan usaha usaha besar memperingatkan
masyrakat Amerika tentang ‘pendidikan menyesuaikan hidup’, pendidikan berpusat
pada anak dan kemerosotan belajar di USA. Pada tahun 1938 berdiri sebuah wadah
organisasi utama dalam bentuk komite
Esensialis untuk pertimbangan pendidikan Amerika dibawah pimpinan Wiliam
C. Bagley, Isaac L. Kandel, dan Frederick Breed. Organisasi utama kedua
didirikan pada tahun 1950-an, berupa Dewan Pendidikan Dasar. Juru bicara
terkemuka himpunan organisasi ini adalah Mortimer Smith dan Arthur Bestor.
Pemikiran umum organisasi dapat dilihat melalui judul karya-karya penting
Bestor tentang pendidikan, yaitu : Educational
Wastelands: The Retread From Learning In Qur Public Scool (1953) dan The Restoration Of Learning: A Program For
Redeeming The Unfulfilled Promise Of American Education (1955). Dewan
pendidikan dasar tidak hanya memperhatikan kemerosotan pendidikan umum Amerika,
akan tetapi juga meragukan nilai kajian-kajian pendidikan formal oleh para pakar dibidang pendidikan.[3]
Idealisme dan Realisme adalah aliran-aliran filsafat yang
membentuk corak Esensialisme, sebagaimana yang dipaparkan oleh Brameld “bahwa
esensialisme ialah aliran yang lahir dari perkawinan dua aliran dalam filsafat
yakni idealism dan realism”. Sumbangan yang diberikan oleh masing-masing ini
bersifat eklektik, artinya dua aliran filsafat ini bertemu sebagai pendukung
Esensialisme, tetapi tidak lebur menjadi satu. Berarti, tidak melepaskan
sifat-sifat utama masing-masing.
B.
Prinsip-Prinsip
Filosofis
1. Hakikat Manusia
Pandangan ontologis esensialme merupakan suatu konsepsi bahwa
dunia atau realita ini dikuasai oleh tata (order) tertentu yang mengatur dunia
beserta isinya. Hal ini berarti bahwa bagaimanapun bentuk, sifat, kehendak dan
cita-cita, dan perbuatan manusia harus disesuaikan dengan tata tersebut.[4]
Idealisme modern mempunyai pandangan bahwa realita adalah sama
dengan substansi gagasan-gagasan (ide-ide). Di balik dunia fenomenal ini ada
jiwa yang tidak terbatas yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos.
Manusia sebagai makhluk yang berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan.
Dengan menguji menyelidiki ide-ide serta gagasan-gagasannya, manusia akan dapat
mencapai kebenaran, yang sumbernya adalah Tuhan sendiri.
Realisme modern yang menjadi salah satu eksponen esensialisme,
titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik, sedangkan
idealisme modern sebagai eksponen yang lain, pandangan-pandangannya bersifat
spiritual. Manusia memiliki intelegensi ia mampu berpikir, dan karenanya dapat
menyesuaikan diri terhadap dunia eksternalnya sehingga tetap bertahan diri
dalam perjuangannya menghadapi dunia eksternalnya.
2.
Hakikat Realitas
Sifat yang menonjol dari ontologi esensialisme adalah suatu
konsepsi bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur
dunia beserta isinya dengan tiada cela pula, ini berarti bagaimanapun bentuk,
sifat, kehendak dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan dengan tata
tersebut. Dibawah ini adalah uraian mengenai penjabarannya menurut realisme dan
idealisme.[5]
a.
Realisme yang mendukung esensialisme disebut realisme objektif
karena mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam serta tempat manusia
didalamnya. Terutama sekali ada dua golongan ilmu pengetahuan yang mempengaruhi
realisme ini. Dari fisika dan ilmu-ilmu lain yang sejenis dapat dipelajari
bahwa tiap aspek dari alam fisik ini dapat dipahami berdasarkan adanya tata
yang jelas khusus. Ini berarti bahwa suatu kejadian yang sederhanapun dapat
ditafsirkan menurut hukum alam, seperti misalnya daya tarik bumi.
b.
Idealisme objektif mempunyai pandangan kosmos yang lebih optimis
dibandingkan dengan realisme objektif. Yang dimaksud dengan ini adalah bahwa
pandangan-pandangannya bersifat menyeluruh yang boleh dikatakan meliputi segala
sesuatu. Dengan landasan pikiran bahwa totalitas dalam alam semesta ini pada
hakikatnya adalah jiwa atau spirit, idealisme menetapkan suatu pendirian bahwa
segala sesuatu yang ada ini nyata. Ajaran-ajaran Hegel memperjelas pandangan
tersebut diatas.
3.
Hakikat Pengetahuan
a.
Epistemologi Idealisme
Pandangan mengenai pengetahuan bersendikan pada pengertian bahwa
manusia adalah makhluk yang adanya merupakan refleksi dari Tuhan dan yang
timbul dari hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Karena itu, dalam diri
manusia tercermin suatu harmoni dari alam semesta, khususnya pikiran manusia
(human mind). Manusia memperoleh pengetahuan melalui berpikir, intuisi, atau
introspeksi.
Kriteria kebenaran idealism yaitu pikiran atau kesadaran adalah
primodial. Sejak kehidupan ada, sejak itu pula pikiran atau kesadaran ada.
Kesadaran atau pikiran manusia bertugas membangun suatu rancangan dunia dalam
yang dianggap paling mendekati realitas luar absolut. Untuk itu, maka logika
atau penalaran menjadi penting, sebab memang logika atau penalaran itu
merupakan bagian yang sangat esensial dari realitas. Karena itu, sesuatu
pengetahuan dikatakan benar bukan karena berguna untuk memecahkan masalah atau
untuk kehidupan praktis, sebagaimana dianut progresivist, tetapi suatu
pengetahuan dikatakan benar karena ia memang benar, jadi kebenaran bersifat
intrinsic, bukan instrumental. Jadi, kebenaran merupakan perwujudan dari
realitas tertinggi. Sebab itu, uji kebenaran pengetahuan dlakukan melalui uji
koherensi atau konsistensi logis ide-idenya (Madjid Noor,dkk, 1987).[6]
b.
Epistemologi Realisme
Sumber pengetahuan menurut Realisme adalah dunia luar subyek,
pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dria, atau pengamatan. Kita mengetahui
sesuatu jika kita mengamati atau mengalami sesuatu melalui kontak lamgsung
melalui pancaindera. Pengetahuan sudah ada di dalam realitas, manusia tinggal
menemukannya melalui pengamatan atau pengalaman.
Kriteria kebenaran menurut epistemologi realisme adalah suatu
pengetahuan diakui benar jika pengetahuan itu sesuai dengan realitas eksternal
(yang objektif) dan independen. Sebab itu, uji kebenaran pengetahuan dilakukan
melalui uji korespondensi pengetahuan dengan realitas.
4.
Hakikat Nilai (Aksiologi)
a.
Aksiologi Idealisme
Para filsuf Idealisme sepakat bahwa nilai hakikatnya diturunkan
dari realitan absolut. Realitan absolut merupakan hal nyata yang benar-benar
ada yang bersifat mutlak. Karena itu nilai-nilai adalah abadi atau tidak
berubah. Dalam kehidupan sosial, kualitas spiritual seperti kesadaran cinta
bangsa dan patriotism merupakan nilai-nilai sosial yang perlu dijunjung tinggi,
dan Hegel menyimpulkan bahwa karena Negara adalah manifestasi Tuhan, maka wajib
bagi warga negara untuk setia dan menjunjung negara.
b.
Aksiologi Realisme
Para filsuf realisme percaya bahwa standar nilai tingkah laku
manusia diatur oleh hukum alam, dan pada taraf yang lebih rendah diatur melalui
konvensi atau kebiasaan, adat istiadat di dalam masyarakat ( Edward J. Power,
1982). Sejalan dengan konsep di atas, bahwa moral berasal dari adat istiadat,
kebiasaan, atau dari kebudayaan masyarakat.[7]
C.
Kelebihan dan
Kelemahan Aliran Esensialisme
1.
Kelebihan:
a.
Esensialisme membantu untuk mengembalikan subject matter ke
dalam proses pendidikan, namun tidak mendukung perenialisme bahwa subject
matter yang benar adalah realitas abadi yang disajikan dalam buku-buku besar
dari peradaban barat. Great Book tersebut dapat digunakan namun bukan untuk
mereka sendiri melainkan untuk dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan yang ada
pada dewasa ini.[8]
b.
esensialis berpendapat bahwa perubahan merupaka suatu kenyataan
yang tidak dapat diubah dalam kehidupan sosial. Mereka mengakui evolusi manusia
dalam sejarah, namun evolusi itu harus terjadi sebagai hasil desakan masyarakat
secara terus-menerus. Perubahan terjadi sebagai kemampuan imtelegensi manusia
yang mampu mengenal kebutuhan untuk mengadakan amandemen cara-cara
bertindak,organisasi,dan fungsisosial.
2.
Kelemahan:
a.
menurut esensialis, sekolah tidak boleh mempengaruhi atau
menetapkan kebijakan-kebijakan sosial. Hal ini mengakibatkan adanya orientasi
yang terikat tradisi pada pendidikan sekolah yang akan mengindoktrinasi siswa
dan mengenyampingkan kemungkinan perubahan.
b.
Para pemikir esensialis pada umumnya tidak memiliki kesatuan
garis karena mereka berpedoman pada filsafat yang berbeda. Beberapa pemikir esensialis
bahkan memandang seni dan ilmu sastra sebagai embel-embel dan merasa bahwa
pelajaran IPA dan teknik serta kejuruan yang sukar adalah hal-hal yang
benar-benar penting yang diperlukan siswa agar dapat memberi kontribusi pada
masyarakat.
c.
Peran guru sangat dominan sebagai seorang yang menguasai
lapangan, dan merupakan model yang sangat baik untuk digugu dan ditiru. Guru
merupakan orang yang menguasai pengetahuan dan kelas dibawah pengaruh dan
pengawasan guru. Jadi, inisiatif dalam pendidikan ditekankan pada guru, bukan
pada siswa.
D. Implikasi Aliran Essentialisme
Terhadap Pendidikan
1.
Pandangan ontologi essensialisme
Sifat khas dari ontologi esensialisme adalah suatu konsep bahwa dunia
ini di kuasai oleh tatanan yang cela, yang mengatur dunia beserta isinya dengan
tiada cela pula. Ini berarti bahwa bagaimanpun bentuk, sifat, kehendak dan
cita-cita manusia haruslah disesuaikan dengan tatanan tersebut. Secara
filosofis esensialisme dilandasi oleh prisip-prinsip klasik dari filsafat
realisme dan idialisme moderen. Ontologinya dapat disebut realisme objektif,
yang berpendapat bahwa kenyataan adalah sebuah pokok (subtansi) mater atau
idialisme objektif yang berpandangan bahwa kenyataan itu pada pokoknya bersifat
rohaniah.
2.
Pandangan epistemologi essensialisme
Epistemologi essensialisme pada tingkat tertinggi merupakan teori
persesuaian pengetahuan, yang meyakini bahwa kebenaran tampil mewakili atau
sesuia dengan fakta objektif. Realisme memperhatikan pandangan tiga aliran
psikologi yaitu assosianesmi, behavorisme, dan koneksionisme. Lazimnya metosde
yang digunakan dalam aliran psikologi ini adalah menerapkan metode ilmu alam.
3.
Pandangan mengenai Pendidikan
Essensialisme timbul karena adanya pandangan kaum progesif mengenai
pendidikan yang fleksibel. Oleh karena adanya saingan dari progresibvisme, maka
pada sekitar tahun 1930 muncul organisasi. Dengan munculnya komite ini
pandangan-pandangan essensilaisme menurut tafsiran abad XX mulai diketengahkan
dalam dunia pendidikan.
4.
Pandangan mengenai belajar
Essensialisme yang didukung oleh pandangan idealisme berpendapat bahwa bila
seseorang itu belajar pada taraf permulaan adalah memahami akunya sendiri,
terus bergerak keluar untuk memahami dunia objektif. Akal budi manusia
membentuk, mengatur, mengelompokkannya dalam ruang dan waktu. Dengan prinsip
itu dapat dikatakan bahwa belajar pada seseorang sebenarnya adalah
mengembangkan jiwa pada dirinya sendiri sebagai substansi spritual. Jiwa
membina dan menciptakan dirinya sendiri. Jadi belajar adalah menerima dan
mengenal dengan sungguh-sungguh nilai-nilai sosial oleh angkatan baru yang
timbul untuk ditambah dan dikurangi serta diteruskan kepada angkatan berikutnya
(Barnadib:1996:56). Belajar adalah cerminan dari jiwa yang aktif.
5.
Pandangan Kurikulum Essentialisme
Essensialisme adalah suatu teori pendidikan yang menegaskan bahwa
pendidikan selayaknya bergerak dalam kegiatan pembelajaran tentang keahlian
dasar, seni dan sains yang telah nyata-nyata berguna dimasa lalu dan tetap
demikian dimasa yang akan datang. Para essensialis percaya bahwa beberapa
keahlian esensi atau dasar mempunyai kontribusi yang besar terhadap keberadaan
manusia seperti membaca, menulis, aritmatika dan perilaku sosial yang beradab.
Keahlian dasar ini merupakan hal yang selayaknya dan memeng dibutuhkan sehingga
selalu ada dalam setiap kurikulum sekolah dasar yang baik.
Pada kurikulum sekolah pertama, kurikulum dasar seharusnya terdiri dari
sejarah, matematika, sains dan sastra. Kurikulum perguruan tinggi terdiri dari
dua komponen yaitu mata kuliah umum dan sains. Dengan menguasai mata kuliah ini
yaitu yang berkaitan dengan lingkungan sosial dan alam, seorang siswa
mempersiapkan diri untuk berpartisipasi ssecara efektif dalam masyarakat
beradab.
Jadi intinya kurikulum hendaknya disusun secara sistematis, dari mulai yang
sederhana sampai yang kompleks. Kurikulum direncanakan dan disusun berdasarkan
pikiran yang matang agar manusia dapat hidup harmonis dan menyesuaikan diri
dengan sifat-sifat kosmis.
[4] Prof.Dr.
H. Jalaluddin dan Drs. Abdullah Idi, M.Ed. Filsafat Pendidikan.
Jakarta: GayaMedia Pratama.1997
[6] http://www.makalahskripsi.com/2013/10/abstraksi-filsafat-idealisme-dan.html.
Diakses 20
Maret 2016.
[8] http://www.makalahskripsi.com/2013/10/abstraksi-filsafat-idealisme-dan.html.
Diakses 20
Maret 2016.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Essentialisme merupakan paduan ide-ide filsafat Idealisme dan
Realisme. Dan praktek-praktek filsafat pendidikan Essentialisme dengan demikian
menjadi lebih kaya dibandingkan jika ia hanya mengambil posisi yang sepihak
dari salah satu aliran yang ia sinthesakan itu. Ide pokok idealisme berprinsip
tentang semesta raya dan hakekat sesuatu. Ide pokok realisme berprinsip realita
itu ada jika independen terlepas daripada kesadaran jiwa manusia.
Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan
budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar dapat
menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran
lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk
hidup di masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme, Essesialisme juga lebih
berorientasi pada masa lalu.
Pada prinsipnya, proses belajar menurut
Essensialisme adalah melatih daya jiwa potensial yang sudah ada dan proses
belajar sebagai proses absorption (menyerap) apa yang berasal dari luar. Yaitu
dari warisan-warisan sosial yang disusun di dalam kurikulum tradisional, dan
guru berfungsi sebagai perantara.
DAFTAR
PUSTAKA
George
R. Knight, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta
: Gama Media, 2007.
H. Jalaluddin
dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan,
Jakarta : Gaya Media Pratama, 1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar